Pada 1 September 1946 didirikan Sekolah Menengah Tinggi Ekonomi (SMTE) bersama dengan Sekolah Dagang di daerah Simpon (Kampung Baru). Sekolah ini dipimpin oleh Drs. M. Prawironagoro dan dibantu beberapa guru diantaranya Kaboel, FX. Suparman, Sajidiman, Katamdiprodjo dan masih banyak lagi. Pada 1947, sekolah ini lalu pindah ke daerah Lojiwetan tepatnya di Jalan Tembaga 11 dan berganti nama sebagai Sekolah Ekonomi Menengah (SEM). Pesta pertemuan siswa baru digelar bersamaan dengan Agresi Militer Belanda II, acara yang sedianya berlangsung panjang terpaksa diakhiri segera setelah dimulai dan sekaligus menjadi pengumuman penutupan sekolah sementara. Para siswa diharapkan bergabung ke kesatuan sipil/militer.

Setelah penyerahan kedaulatan pada 1949, sekolah ini mulai menjalankan aktivitasnya kembali. Namun, gedung sekolah di Lojiwetan telah dipakai menjadi SMP Federal (sekolah yang didirikan Belanda) sehingga SEM melakukan kegiatan belajar di Asrama Polisi Beskalan dan meminjam lokasi SMP Negeri 2 Surakarta. Drs. M. Prawironagoro lalu dipindahkan ke Yogyakarta dan posisinya sebagai kepala SEM Solo digantikan oleh Sudarmoatmodjo dan dibantu oleh beberapa guru antara lain JZA. Mochtar, Zakaria Raib, S. Wirowidjojo, Suwadji dan Utomo. Pada tahun 1950, sekolah ini pertama kali menamatkan 9 siswa yaitu RS. Soetjipto (menjadi kepala sekolah pada 1958-1965), Soetadi, Darmadi, Drs. Ramelan (kepala sekolah SMEA Negeri 3 Suarakarta), Wastuti Samidin (kepala sekolah SMEA 15 Jakarta), Sarwono, Wiranto, Safaat dan Soetitah. Setelah kelulusan tersebut, nama sekolah berganti menjadi SMEA.

Sudarmoatmodjo kembali ke Jawatan Pendidikan Masyarakat dan posisinya digantikan oleh Mr. KRMT. Tirtodiningrat. Tak lama kemudian Tirtodiningrat diangkat menjadi Inspektur Pengajaran Ekonomi Pusat dan posisinya diberikan ke Drs. M. Prawironagoro namun didelegasikan ke RS. Boediwirjo. Pada tahun 1956, sekolah ini terdiri dari 8 kelas I, 4 kelas II dan 4 kelas III. 4 kelas I diantaranya masuk sekolah pada sore hari. Selanjutnya Boediwirjo mengajukan pendirian SMEA Negeri 2 dengan menggunakan 4 kelas I yang masuk sore sedangkan 12 kelas sisanya tetap menjadi SMEA Negeri 1. Posisi kepala selanjutnya dipegang oleh RS Soetjipto menggantikan Boediwirjo yang pensiun pada 1958. Pada masa Soetjipto, berdiri Persatuan Orang Tua Murid dan Guru (POMG), dan diadakannya perayaan lustrum ketiga pada 1961.

Pada 1965, dengan adanya Gerakan 30 September Posisi Soetjipto digantikan oleh D. Soetadi. Pada masa yang cukup sulit, sekolah diperintahkan untuk membentuk Korps Pelajar Serba Guna (Kojarsena). Belum usai kegentingan pada masa Gerakan 30 September, Kota Surakarta di hantam banjir selama 2 hari pada 16-17 Maret 1966, inventaris sekolah seperti mesin ketik, mesin hitung, dan buku-buku diktat stensil rusak berat. Pada 1967, Soetadi dipindahkan ke AAN Surakarta dan posisinya digantikan oleh Roelijan Soedarsono.

Pada 1 Januari 1997, SMEA Negeri 1 Surakarta berganti nama menjadi SMK Negeri 1 Surakarta.